Pages

Masjid Laweyan, Saksi Akulturasi Hindu-Islam



Akulturasi budaya budaya Islam dan Hindu merupakan fakta sejarah di Pulau Jawa. Di Solo, Jawa Tengah, bukti multikulturalisme itu bisa dilihat pada Masjid Ki Ageng Henis atau lebih dikenal sebagai Masjid Laweyan.

Masjid Laweyan yang terletak di Kampung Batik Laweyan Solo tersebut menjadi bukti sejarah akulturasi Budaya Islam-Hindu, karena bangunan masjid itu sebelumnya merupakan bangunan pura. Namun, saat ini bekas bangunan pura sulit ditemukan, karena Masjid Laweyan sudah mengalami pemugaran berulang kali.

Menurut salah seorang pengurus Masjid Laweyan, Adiyanto, masjid ini yang tertua di Solo. Sebab, pendiri masjid tersebut merupakan sosok cikal bakal penerus takhta di tiga kerajaan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. “Sebelum dibangun masjid, dulunya merupakan bangunan pura sebagai tempat ibadah umat Hindu,” kata dia kepada VIVAnews.com, Senin.
Awal mula berdirinya masjid itu tidak lepas dari pengaruh  Ki Ageng Henis yang bersahabat baik dengan seorang Pemangku atau Pandhita Umat Hindu. Dari persahabatan itu, lambat laun Pemangku tersebut mulai tertarik mempelajari agama Islam yang ajarannya berasal dari Al Quran dan hadits.

Setelah itu, Sang Pemangku itu langsung tertarik belajar agama Islam dan mengikrarkan diri memeluk agama Islam mengikuti jejak Ki Ageng Henis. Bangunan pura yang sebelumnya menjadi tempat ibadah agama Hindu langsung diserahkan ke Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi bangunan langgar (musala). Dalam perkembangannya, langgar itu kemudian berubah menjadi masjid.

Masjid Laweyan, menurut Adiyanto, berdiri sejak tahun 1546, di masa Kerajaan Pajang. Kerajaan tersebut merupakan cikal bakal kerajaan Mataram yang kemudian pecah menjadi Keraton Kasunanan Surakarta dan Keraton Mataram Ngayogyakarta.

”Ki Ageng Henis ini sebagai penasihat  spiritual Kerajaan Pajang. Beliau merupakan keturunan Raja Majapahit dari silsilah Raja Brawijaya-Pangeran Lembu Peteng-Ki Ageng Getas Pandawa lalu Ki Ageng Selo. Sedangkan keturunan Ki Ageng Henis saat ini menjadi raja-raja di kraton Kasunanan dan Mataram,” katanya.

Bentuk arsitek masjid yang mirip seperti Kelenteng Jawa, juga menjadi ciri khas Masjid Laweyan yang berbeda dengan bentuk arsitek masjid pada umumnya. ”Ada juga kentongan besar yang usianya ratusan tahun, tapi jarang dibunyikan, karena digantikan dengan bedug. Sisa bangunan yang usianya tua, adalah dua belas tiang utama masjid dari kayu jati,” kata dia.

Bentuk arsitektur lainnya, terdapat tiga lorong jalur masuk di bagian depan masjid. Tiga lorong itu menandakan tiga jalan menuju kehidupan yang bijak yakni Islam, Iman dan Ihsan.

Meski Masjid Laweyan merupakan peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta, saat ini pemeliharaannya justru lebih didominasi masyarakat sekitar yang rata-rata sebagai pengusaha batik. Ritual tradisi budaya keraton juga jarang digelar di Masjid Laweyan.

”Kalau sewaktu pemerintahan Kerajaan Pajang, masjid ini memang menjadi pusat pembelajaran. Saat ini hanya menjadi tempat ibadah biasa, tapi pengunjung dan peneliti dari luar daerah tetap terus berdatangan,” kata Adiyanto. (Laporan Fajar Sodiq | Solo, umi)
• VIVAnews

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

TEAM

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More